TARGET-24JAM.COM PANGKALPINANG — Viralnya Pemberitaan di berbagai Media Online, Polemik kasus kematian Aldo Ramadani memasuki babak lebih panas setelah berbagai kejanggalan dalam proses komunikasi Pemerintah Kota Pangkalpinang terkuak ke permukaan.
Fakta baru muncul dari penuturan Yanto, ayah almarhum Aldo, yang mengungkap bahwa pertemuan pada 7 November 2025 bukanlah pertemuan formal yang ia ketahui sebelumnya.
Di dalam ruangan, menurut Yanto, Wali Kota Pangkalpinang secara langsung menyampaikan tawaran perdamaian berupa Rp150 juta yang diminta “diterima dulu”.
Serta Rp150 juta sisanya yang akan diserahkan setelah keluarga mencabut laporan terhadap dr. Ratna. Paket damai itu juga sebelumnya termasuk janji umrah dan pembiayaan pendidikan anak Yanto hingga perguruan tinggi. Namun Yanto menolak mentah-mentah tawaran tersebut.
Mengutip dari Beberapa Media Online, Serumpunsebalai.com Dan Beritamerdekaonline.com, https://www.beritamerdekaonline.com/pemkot-pangkalpinang-bantah-hoaks-tawaran-rp300-juta-dan-umrah-kepada-keluarga-alm-aldo/berita-hukum/
Wali Kota Tepis Isu Tawaran Damai, Hanya Fasilitasi Ruang Pertemuan
Walikota Pangkalpinang, Prof Udin, menegaskan, bahwa dirinya atas nama Wali Kota maupun Pemkot Pangkalpinang, tidak pernah mengeluarkan pernyataan terhadap nominal rupiah sebagai kompensasi damai, beserta kompensasi lainnya seperti yang diberitakan.
Keluarga korban pada saat Mendapat bantahan dari Walikota Pangkalpinang Prof Udin di beberapa Media online. Orang tua korban , (Yanto) Berkata, “Saya berani bersumpah di atas Al-Qur’an. Perkataan itu keluar dari mulut Pak Udin sendiri (Walikota Pangkalpinang). Jangan sampai seorang pemimpin mengingkari.” ucapannya.
Ayah dari almarhumah Aldo Juga siap bertemu langsung dengan beliau untuk membuktikannya,” tegas Yanto saat dikonfirmasi di kediaman nya hari ini.25/Nov/2025.”
Terlebih karena media yang sejak awal meminta klarifikasi kepada Wali Kota tidak mendapatkan jawaban, namun Wali Kota justru memberikan klarifikasi kepada media lain yang dikenal sebagai media “sehaluan” dengan Pemkot.
Langkah ini dinilai menabrak Kode Etik Jurnalistik, khususnya terkait asas keberimbangan, profesionalitas, dan hak jawab.
Media yang menerbitkan bantahan tanpa menghadirkan suara pihak yang disudutkan dipandang sebagai bentuk pelanggaran KEJ dan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, terutama Pasal 5 ayat (1) dan (2).
Dalam wawancara terpisah, Zubaidah, Ketua LSM P2H2P Babel yang mendampingi keluarga Aldo sejak awal, juga mengecam tindakan penyangkalan yang dilakukan Wali Kota.
Berikut Pernyataannya Tegas Zubaidah ketua LSM P2H2P Babel
Sebagai pimpinan ,Sah-sah saja Prof Udin. (walikota) menjadi mediator sebagai Penengah, hanya saja pernyataan di anggap Hoax itu kenyataannya ada, jadi jangan bermain statmant di media. Tinggal para pihak sama-sama membuktikan di persidangan nanti
Prof Udin Selaku walikota, Kok bicara Berita Hoax, padahal itu omongan dari mulut nya sendiri, dan pak yanto tidak mungkin berbohong,
Yang Kami sesal kan dengan sikap Prof Udin selaku Walikota, dan mewakili Rakya Kok ngomong begitu” Cetus nya
“Kami tantang untuk Prof Udin Walikota Pangkalpinang, panggil kami guna mengklarifikasi atas apa yang telah kami bicara kan dan kami siap angkat sumpah angkat Alquran, siapa yang benar dan siapa yang salah.
Kami Tunggu Panggilan Dari Walikota Pangkalpinang, Karna Apa Yang Kami Katakan, Akan Kami Pertanggung Jawab,tutup nya.
Walikota Pangkalpinang, Prof Udin, saat dikonfirmasi Lebih lanjut selasa 25 /Nov/2025 terkait bantahannya di media online,
Sumbernya dari dr Ratna dan IDI, Kami hanya memfasilitasi pertemuan dr Ratna, IDI Beserta keluarga korban permasalahan ini Sudah Kami Serahkan sepenuhnya proses hukum ke APH. Ungkap Prof Udin.”
Pada saat disinggung tim media ucapan tersebut keluar dari mulut Prof Udin, walikota Pangkalpinang tetap memilih untuk tidak menjawab pertanyaan tersebut. Beliau memilih bungkam dan tidak menjawab konfirmasi dari tim 9 media jejak kasus.”
UU PERS No 40 Tahun 1999,
Menurut Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik, jurnalis bekerja berdasarkan “kejujuran dan iktikad baik dalam memperoleh informasi”. Sementara Pasal 3 KEJ menegaskan bahwa media harus mengutamakan profesionalitas serta memberikan ruang bagi pihak yang dikonfirmasi untuk menjawab secara langsung, bukan secara selektif.
Dalam konteks ini, bukan hanya ada dugaan bahwa pihak pemerintah kota mengabaikan kewajiban moral untuk memberikan klarifikasi kepada media yang telah mengajukan permintaan resmi, tetapi juga muncul pertanyaan mengenai integritas media pro Pemkot yang mengangkat klarifikasi tersebut seolah merekalah pihak yang sejak awal berupaya mengonfirmasi. Sikap seperti ini justru bertentangan dengan Pasal 6 UU Pers, yang menyatakan bahwa pers nasional “melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan publik.”
Lebih jauh, Pasal 5 ayat (2) UU Pers mewajibkan pers untuk melayani hak jawab. Hak jawab tersebut seharusnya diberikan kepada media yang memerlukan klarifikasi karena pemberitaannya berhubungan langsung dengan sumber berita. Ketika Wali Kota Prof. Udin memilih memberikan klarifikasi kepada media lain yang tidak mengajukan pertanyaan sebelumnya maka terdapat indikasi bahwa hak jawab tidak diberikan kepada pihak yang berhak menerimanya.
Apakah media pro Pemkot memahami etika jurnalistik? Pertanyaan ini menjadi sangat relevan ketika mereka mempublikasikan klarifikasi yang tidak mereka minta, lalu menggiring opini bahwa media lain bekerja tidak profesional. Padahal secara prinsip, pihak pemerintah maupun media manapun wajib tunduk pada aturan yang sama dalam dunia pers, bukan menciptakan standar sendiri demi menjaga citra politik atau kepentingan tertentu.
Dengan demikian, langkah Prof. Udin dan media pro Pemkot ini layak dipertanyakan. Masyarakat pun berhak mengetahui apakah proses komunikasi pemerintah dalam kasus sensitif seperti kematian Aldo telah berjalan sesuai koridor hukum dan etika, atau justru diarahkan untuk kepentingan pencitraan sepihak. (Red)
CRL_1705











