Mojokerto – 3/8/2025 Salah satu tokoh spiritual terkemuka dari Mojokerto, Ki Wiro Kadek dari Padepokan Tlasik 87, menyampaikan pesan mendalam tentang filosofi dan nilai-nilai spiritual di balik tradisi Bubur Sapar. Menurutnya, tradisi ini bukan sekadar warisan budaya, melainkan strategi dakwah yang diwariskan oleh para Walisongo dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara.
“Bubur Sapar itu bukan sekadar makanan tradisional, tapi sarana dakwah yang lembut, menyatu dengan budaya masyarakat,” tutur Ki Wiro Kadek dalam sebuah pertemuan spiritual di Mojokerto.
Tradisi ini, lanjutnya, mengajarkan nilai-nilai luhur tentang sedekah dan silaturrahmi. “Bersedekah itu tidak melulu soal uang. Melalui bubur Sapar, kita diajarkan pentingnya berbagi dalam bentuk apa pun untuk menjaga hubungan dan kasih sayang antar sesama,” ujarnya.
Lebih lanjut, Ki Wiro menjelaskan makna mendalam dari berbagai jenis bubur yang disajikan dalam tradisi ini:
Jenang Merah melambangkan getih (darah) Abah dan Ibu, sebagai simbol pengorbanan dan kasih sayang orang tua.
Jenang Under-under Bunder melambangkan bibit atau embrio manusia, simbol awal kehidupan.
Jenang Putih merupakan perlambang dari sperma Bopo, sebagai pengingat agar manusia selalu eling (ingat) kepada asal-usulnya.
“Manusia harus ingat dari mana ia berasal, agar tidak menjadi sombong dan lupa diri. Kita ini hanyalah makhluk ciptaan Gusti, maka kudu saling mengasihi dan menjaga sesama,” pesan Ki Wiro dengan penuh makna.
Ia juga menekankan bahwa melalui tradisi seperti ini, generasi muda diajak untuk lebih mengenal jati diri dan akar spiritualitas Nusantara. “Milo ayo podho eling lan waspodo, ojo sombong, minongko kita mung makhluk e Gusti,” pungkasnya.
Tradisi Bubur Sapar yang dijaga dan dilestarikan oleh para tokoh spiritual seperti Ki Wiro Kadek, menjadi pengingat bahwa nilai-nilai Islam di Indonesia berkembang tidak hanya lewat ceramah, tetapi juga melalui budaya, tradisi, dan kearifan lokal yang kaya makna.
Editor: jekyridwan