Malang. 2/7/2025.Di balik gegap gempita proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, tersimpan kisah yang lebih dalam—sebuah pesan semesta yang menyatu dalam lambang negara: Burung Garuda.
Tanggal 17 bulan 8 tahun 1945, bukan hanya tonggak sejarah, melainkan juga simbol kekuatan kosmis yang membawa harapan dan kemerdekaan bangsa. Jika ditelaah lebih jauh, angka 17 melambangkan kesadaran spiritual, 8 menggambarkan keabadian dan harmoni alam, sementara 1945 adalah momentum perubahan dunia. Alam semesta seolah bersekutu, menorehkan takdir Indonesia menjadi bangsa merdeka, tepat saat bintang-bintang pun bersinar dengan restu ilahi.
Garuda, sang elang agung, bukan hanya lambang kekuatan dan keberanian. Di dadanya terpahat perisai dengan lima simbol Pancasila—cerminan dari dasar kosmis semesta tentang keadilan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial. Sayapnya berjumlah 17 bulu, ekornya 8, dan bulu di pangkal leher 45—semuanya bersatu dalam tarikan angka sakral 17-8-45. Apakah itu kebetulan? Tidak. Ini adalah pesan bahwa bangsa ini dibangun oleh kekuatan cinta, keberanian, dan kehendak semesta.
Kini, ucapan “Papa cinta” menggema dari hati seorang ayah untuk anak-anak bangsa—cinta yang tulus, tanpa syarat, mengajarkan bahwa kita adalah bagian dari bangsa besar yang dilindungi Garuda. Begitu pula semangat dari para rekan-rekan pecinta Burung Garuda: komunitas, rakyat, dan generasi muda yang percaya bahwa Indonesia akan selalu menang—bersama alam semesta.
“Garuda di dadaku, Indonesia kebanggaanku,” bukan sekadar lagu. Itu adalah mantra semesta. Karena siapa yang mencintai Garuda, mencintai tanah air, dan siapa yang percaya pada Indonesia, akan menjadi bagian dari gelombang kemenangan yang tak terbendung.
Indonesia pasti menang. Bersama cinta, Garuda, dan alam semesta.
—
Editor: jekyridwan
