Target-24jam.com Bangka Tengah – Polemik terkait izin penambangan batuan untuk proyek breakwater yang dikantongi PT. SAN dengan nomor KBLI 08104 (Penambangan Pasir Uruk) semakin memanas. Dugaan aktivitas penambangan yang dilakukan sebelum penetapan Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur besaran pajak, memicu sorotan tajam terhadap potensi maladministrasi, eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkontrol, serta kerugian negara.
Menanggapi berbagai informasi yang beredar, Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Bangka Tengah, Dr. (C) Muhammad Husaini, SH, MH, menyatakan pihaknya akan melakukan pengecekan kebenaran informasi tersebut. “Terima kasih infonya, akan kami cek kebenarannya,” ujar Husaini, menegaskan keseriusan dalam menindaklanjuti dugaan pelanggaran yang ada.
Sebelumnya, izin PT. SAN menjadi sorotan karena perusahaan ini diduga kuat telah memulai aktivitas penambangan sebelum adanya Perda yang mengatur. Ketiadaan regulasi ini memunculkan kekhawatiran akan praktik korupsi, manipulasi, dan eksploitasi tanpa pengawasan memadai.
Klaim bahwa izin tersebut sah karena diterbitkan melalui sistem Online Single Submission (OSS) dan berlandaskan Peraturan Menteri (Permen) tahun 2024 dinilai sebagai dalih yang rapuh. Fakta di lapangan mengindikasikan bahwa aktivitas penambangan telah berlangsung sebelum adanya Perda yang secara tegas mengatur kewajiban pajak per kubik pasir yang diangkut. Ketiadaan regulasi ini bukan sekadar cacat administratif, melainkan celah yang berpotensi membuka praktik korupsi dan manipulasi, serta membiarkan eksploitasi terjadi tanpa pengawasan memadai.
Pertanyaan krusial pun muncul: ke mana aliran dana pajak yang seharusnya menjadi hak masyarakat Bangka Tengah selama periode sebelum Perda ditetapkan? Ahab, juru bicara PT. SAN, mengklaim bahwa pihaknya telah menyetor pajak sebesar 25 persen kepada dinas terkait. Namun, klaim ini dipertanyakan mengingat tidak adanya landasan hukum yang jelas untuk periode tersebut. Publik menuntut transparansi apakah dana ini benar-benar masuk ke kas daerah atau justru mengalir ke kantong-kantong pribadi oknum yang memanfaatkan celah hukum.
Ironisnya, keberadaan pengawas dari dinas setempat selama aktivitas penambangan berlangsung justru menuai kritik. Pengawas, yang seharusnya memastikan kepatuhan terhadap regulasi dan melindungi kepentingan masyarakat, terkesan abai terhadap pelanggaran yang terjadi, terutama selama masa kekosongan hukum sebelum Perda diberlakukan.
Kepala Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), Darlan, menyatakan bahwa urusan Perda bukan wewenangnya. “Kami hanya mengeluarkan perizinan saja,” kilahnya, sebuah pernyataan yang dianggap sebagai bentuk lepas tanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan, termasuk potensi kerugian negara dan masyarakat akibat aktivitas yang tidak terkontrol sebelum Perda ditetapkan. Pernyataan ini memperkuat dugaan adanya pembiaran sistematis dalam proses perizinan dan pengawasan penambangan PT. SAN.
Lebih lanjut, terungkap fakta mengejutkan dari Jon, perwakilan PT. MCR, yang mengklaim perusahaannya hanya mengirim Purchase Order (PO) untuk pasir dari CV. Mitra Engineering melalui Bambang. Namun, keterangan ini bertolak belakang dengan pernyataan pihak balai yang menyebutkan bahwa PT. MCR sejak awal hanya mengambil pasir dari PT. SAN. Penyelidikan lebih lanjut mengungkap bahwa pasir yang dikirim CV. Mitra Engineering ternyata berasal dari tambang ilegal di Penyak. Skandal ini memaksa penghentian kerja sama, dan PT. MCR akhirnya beralih ke PT. SAN. Rangkaian peristiwa ini mengindikasikan adanya dugaan konspirasi untuk mengelabui publik dan menutupi praktik ilegal yang merugikan negara dan masyarakat, khususnya selama periode sebelum Perda ditetapkan.
Kasus ini menyoroti perlunya audit menyeluruh terhadap proses perizinan dan aktivitas penambangan PT. SAN, serta penegakan hukum yang tegas untuk memastikan akuntabilitas dan legalitas demi mencegah kerugian negara lebih lanjut. Konfirmasi lebih lanjut akan dilakukan ke pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk mendapatkan arahan dan dukungan dalam penanganan kasus ini.
CRL_1705