Mojokerto, 17 Agustus 2025 –
Merdeka bukan hanya cerita masa lalu. Bukan sekadar kisah peluru yang dibalas tekad, atau tanah yang dijaga dengan darah para pahlawan. Hari ini, di usia Republik yang ke-80, kata “merdeka” justru kembali digugat: benarkah rakyat sudah benar-benar bebas?
Jika dulu penjajah datang dari laut dengan senapan dan seragam, kini wajahnya berbeda. Penjajahan hadir dalam ruang rapat, di balik tanda tangan yang membungkam harapan, dalam senyum yang palsu, bahkan dari saudara sebangsa yang melupakan makna perjuangan. Mereka tidak lagi membawa meriam, melainkan janji-janji yang tak pernah ditepati.
Rakyat? Masih berbaris. Bukan untuk perang, melainkan untuk sembako, subsidi, dan pengampunan semu. Sebuah ironi dari negeri yang lahir dengan darah dan doa, namun kerap diperas oleh kepentingan yang mengatasnamakan kemerdekaan.
Meski demikian, di tengah luka dan kecewa, rakyat Indonesia tetap menundukkan kepala penuh hormat pada para pejuang yang telah gugur. Tanpa mereka, takkan ada tanah untuk berpijak, takkan ada langit untuk bermimpi. Warisan perjuangan mereka adalah nyala yang tak bisa padam, sekalipun kini kemerdekaan terasa tertunda, bahkan dirampas oleh saudara sendiri.
Di usia ke-80 Republik Indonesia, suara hati rakyat kembali mengingatkan: kemerdekaan sejati bukan sekadar bebas dari penjajah asing, melainkan juga dari pengkhianatan, keserakahan, dan ketidakadilan di dalam negeri.
—
Editor:jekyridwan