Mojokerto:4/72025.Tapi Betapa ironisnya ketika kita melirik pada lorong-lorong sejarah yang kita temukan bukanlah lorong-lorong kasih melainkan genangan darah yang mengering dan mengeras menjadi prasasti kebencian.
Agama yang seharusnya menjadi Pelita justru kerap menjadi obor yang membakar; menghanguskan segala yang berbeda, memusnahkan yang tak sejalan.
Dan manusia dengan segala kebanggaan atas akal Budinya, justru terjebak dalam lingkaran kekerasan yang sama. Mengutuk setan sambil menari-nari di atas panggung kehancuran yang ia ciptakan sendiri.
Kita mengutuk setan,_ makhluk yang konon menjadi Sumber segala kejahatan tapi lihatlah bukankah kita meniru langkahnya dengan semangat yang tak kalah.
Setan adalah pembohong ulung_ Tapi bukankah kita juga Mahir memelintir kebenaran membungkus kebencian dengan jubah kesucian.
Kita menyebut setan adalah pembawa perpecahan, tapi bukankah kita juga gemar memecah belah; memisahkan kita dari mereka; menciptakan tembok-tembok imajiner yang hanya memisahkan bukan menyatukan.
Setan adalah pembunuh,_ tapi bukankah kita juga menumpahkan darah yang sama atas nama Tuhan, atas nama kebenaran, atas nama keyakinan yang kita anggap mutlak.
Dan Di tengah ini semua kita Masih Berdiri Tegak dan bangga akan diri sendiri seolah-olah kita adalah makhluk yang paling mulia, lebih bijak, lebih beradab.
Kita menyebut diri kita pecinta damai tapi sejarah kita adalah sejarah peperangan.
Kita mengaku sebagai pembela kebenaran tapi kebenaran yang kita bela seringkali adalah kebenaran versi kita sendiri yang kita paksakan pada orang lain dengan pedang dan api.
Kita mengaku pengikut ajaran kasih tapi kasih itu seringkali hanya untuk mereka yang sepaham, seiman dan sebangsa.
Editor: jekyridwan