Mojokerto. 27 Juni 2025
Dari lorong-lorong sempit kehidupan, seorang pria biasa yang pernah dilupakan dunia kini menjadi saksi hidup tentang makna sejati dari hidup, kematian, dan kebangkitan. Namanya Rahman — bukan ustaz, bukan tokoh agama, hanya seorang awam yang pernah tenggelam dalam kegelapan cinta dunia. Namun dari kehancuran, ia menemukan cahaya.
“Dulu saya mengejar cinta manusia, gelar, dan pengakuan. Tapi semua itu hilang dalam sekejap,” tutur Rahman dengan suara bergetar. “Saya kehilangan pekerjaan, keluarga, dan harapan. Saya merasa mati sebelum waktunya.”
Hidupnya berubah saat ia membaca satu ayat dalam keheningan malam:
“Di bumi itu kamu hidup, dan di bumi itu kamu mati, dan dari bumi itu (pula) kamu akan dibangkitkan.”
(QS Al-A’raf: 25)
Ayat itu mengetuk hatinya. Ia merasa ditampar oleh kebenaran: bahwa hidup hanyalah persinggahan, dan bahwa kehancuran bukanlah akhir.
“Saya menyadari, hidup ini bukan tentang apa yang saya miliki, tapi untuk apa saya diciptakan. Saya jatuh, tapi Allah tidak meninggalkan saya,” katanya, menahan air mata.
Dari kegagalan, Rahman mulai menata hidup. Ia menjadi relawan di masjid, merawat anak yatim, dan belajar Al-Qur’an. “Saya tidak sempurna. Tapi saya belajar bangkit. Seperti bumi yang mati karena kemarau, lalu Allah hidupkan lagi dengan hujan — begitulah hati saya,” ujarnya.
Kini, Rahman menjadi inspirasi di komunitasnya. Tak sedikit orang yang datang padanya untuk mendengarkan kisah hidupnya. Ia tidak bicara panjang soal dalil, tapi ia adalah dalil itu sendiri — tentang bagaimana Allah menghidupkan hati yang mati.
“Kita semua akan mati. Tapi jangan tunggu mati untuk hidup kembali. Hidupkan dirimu sekarang dengan makna,” pesannya.
Firman Allah dalam QS Al-A’raf ayat 25 bukan hanya teori. Bagi Rahman, itu adalah realitas. Hidup di bumi adalah fase. Mati adalah pintu. Dan bangkit kembali adalah janji.
Reporter: jekyridwan